welcome

welcome to my blog

  • Buku favorit
  • Film
  • Hobi
  • Music

translate

Cari Blog Ini

Rabu, 17 November 2010

Menghilangkan Rasa Malas

Malas, merupakan salah satu penyebab negara Indonesia ini tertinggal dengan negara lain khususnya hubungannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai contoh janganlah jauh-jauh dahulu ke Eropa, tapi yang dekat terlebih dahulu seperti Malaysia ataupun Singapura yang secara geografis luas negaranya maupun kekayaan alamnya jauh berbeda dengan Indonesia namun jauh berbeda pula dalam hal “manusianya”, padahal dulu pelajar maupun guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia ini untuk belajar memperdalam ilmunya.

Malas bisa berarti banyak hal, malas belajar (umum terjadi pada pelajar) ataupun malas dalam lingkup yang universal yaitu malas dalam mengerjakan sesuatu Tapi memang rasa malas sudah merupakan fitrah dari Tuhan dan kita harus yakin bahwa pemberian Tuhan itu selalu ada manfaatnya, hanya saja permasalahannya terletak pada bagaimana kita mengatasi rasa malas tersebut, mencoba mengambil manfaat atau hikmah dari penanganan rasa malas kita dan belajar melihat dari sudut pandang yang lebih baik.

Malas itu bisa diibaratkan seperti keimanan kita yang ada kalanya meningkat dan ada kalanya menurun. Tapi ternyata kalau dilatih terus menerus dan teratur keimanan itu bisa meningkat atau setidaknya tidak menurun. Nah..begitupun dengan malas, dengan cara teratur diikuti dengan kekonsistenan kita mengerjakan metode atau cara mengatasi rasa malas, rasa malas bisa di atasi dan bukan tak mungkin bisa berubah menjadi rajin.

Rasa malas diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam keluarga besar rasa malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, rasa sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban, dll. Jika keluarga besar dari rasa malas ini mudah sekali muncul dalam aktivitas sehari-hari kita, maka dijamin kinerja kita akan jauh menurun. Bahkan bisa jadi kita tidak pernah bisa mencapai sesuatu yang lebih baik sebagaimana yang kita inginkan.

Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Mengapa disebut penyakit mental? Disebut demikian karena akibat buruk dari rasa malas memang sangat merugikan. Siapa pun yang dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah datang pada orang yang malas. Masyarakat yang dipenuhi oleh individu-individu yang malas tidak jelas tidak akan pernah maju.
Rasa malas juga menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia inginkan. Rasa malas jenis yang satu ini relatif lebih bisa ditanggulangi. Nah, bagaimana cara mengatasinya? Berikut kiat-kiatnya:

Membuat Tujuan

Orang yang malas biasanya tidak memiliki motivasi untuk berkembang ke arah kehidupan yang lebih baik. Sementara orang yang tidak memiliki motivasi biasanya tidak memiliki tujuan-tujuan hidup yang pantas dan layak untuk diraih. Dan orang yang tidak memiliki tujuan-tujuan hidup, biasanya sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah menuliskan resolusi atau komitmen-komitmen pencapaian hidup.

Di sinilah pangkal persoalannya. Tanpa tujuan, resolusi, atau komitmen-komitmen pencapaian hidup, maka seseorang hanya bergerak secara naluriah dan sangat rentan diombang-ambingkan situasi di sekelilingnya. Posisi seperti ini membuatnya menjadi pasif, menunggu, tergantung pada situasi, dan cenderung menyerah pada nasib. Dalam keadaan seperti ini, tidak akan ada motivasi untuk meraih atau mencapai sesuatu. Tidak adanya sumber-sumber motivasi hidup menyebabkan kemalasan.

Supaya motivasi muncul, seseorang harus berani memutuskan tujuan-tujuan hidupnya. Menurut Andrias Harefa dalam bukunya Agenda Refleksi dan Tindakan Untuk Hidup Yang Lebih Baik (GPU, 2004), dia harus membuat komitmen atas apa saja yang ingin diselesaikan, dicapai, dimiliki, dilakukan, dan dinikmati (disingkat secamilanik). Contoh komitmen; “pada ulang tahun yang ke …. saya sudah harus menyelesaikan buku yang saya tulis, meraih promosi pekerjaan, mencapai gelar S-3, memiliki rumah dan mobil, melakukan sejumlah kunjungan ke mancanegara, dan menikmati kebahagiaan bersama keluarga.”

Mengasah Kemampuan

Orang yang memiliki tujuan-tujuan hidup yang pasti, membuat resolusi dan komitmen-komitmen pencapaian biasanya memiliki motivasi tinggi. Tetapi tujuan yang samar-samar jelas tidak memberikan dampak motivasional yang signifikan. Nah, akan lebih baik lagi jika tujuan-tujuan dilengkapi dengan aktivitas-aktivitas pembelajaran, seperti mencari cara-cara yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kita juga perlu sekali mengasah kemampuan atau ketrampilan-ketrampilan supaya langkah-langkah yang diambil itu akan membawa kita pada pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Contoh: jika pada tahun yang sudah ditargetkan kita ingin menjadi konsultan, maka sejak sekarang aktivitas-aktivitas kita sudah harus difokuskan ke arah tujuan tersebut. Kita harus terus mengasah kemampuan mendiagnosa masalah, menemukan penyebab, menganalisis, mengkomunikasikan gagasan, menawarkan solusi, dan memperbaiki kemampuan presentasi.

Jika aktivitas-aktivitas pembelajaran itu dilakukan secara konsisten dan dengan komitmen sepenuhnya, maka kita telah berada di jalur yang benar. Aktivitas-aktivitas pembelajaran akan menempatkan kita pada posisi dan lingkungan yang dinamis. Kemampuan kita dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah juga akan meningkat. Dengan sendirinya ini akan semakin memperkuat rasa percaya diri kita, menebalkan komitmen pencapaian tujuan, dan tentu saja menumbuhkan semangat.

Sebaliknya, jika kita sama sekali menolak aktivitas-aktivitas pembelajaran, komitmen akan semakin melemah, semangat turun, dan kemalasan akan datang dengan cepat. Pada titik ini, tujuan-tujuan, resolusi atau komitmen yang sudah kita buat sudah tidak memiliki arti lagi. Sayang sekali.

Pergaulan Dinamis

Para pemenang berkumpul dengan sesama pemenang, sementara para pecundang cenderung berkumpul dengan sesama pecundang. Ungkapan tersebut mengandung kebenaran. Sulit sekali bagi seorang pemalas untuk hidup di lingkungan para pemenang. Sulit bagi orang malas untuk berada secara nyaman di tengah-tengah orang yang sangat optimis, sibuk, giat bekerja, dan bersemangat mengejar prestasi. Demikian sebaliknya. Sulit sekali bagi para high achiever untuk betah berlama-lama dengan para orang malas dan pesimistik.

Situasi atau lingkungan di mana kita berada sungguh ada pengaruhnya. Orang yang mulai dihinggapi rasa malas sangat dianjurkan agar menjauhi mereka yang juga mulai diserang kebosanan, putus asa, rasa enggan, apalagi negative thinking. Sepintas, berkeluh kesah dengan mereka dengan orang-orang seperti itu dapat melegakan hati. Ada semacam rasa pelepasan dari belenggu psikologis. Walau demikian, dalam situasi malas sedang menyerang, mendekati orang-orang yang sedang down sama sekali tidak menolong satu sama lain. Rasa malas dan kebuntuan justru bisa tambah menjadi-jadi. Ini bisa menjerumuskan masing-masing pihak pada pesimisme, keputusasaan, dan kemalasan total.

Jika rasa malas mulai menyerbu kita, jangan berlama-lama duduk berdiam diri. Cara paling ampuh menghilangkan kemalasan adalah bangkit berdiri dan menghampiri orang-orang yang sedang tekun dan bersemangat melakukan sesuatu. Dekati mereka yang sedang bekerja keras untuk meraih impian-impiannya. Manusia-manusia optimis, self- motivated, punya ambisi, positive thinking, dan memiliki tujuan hidup pasti, umumnya memancarkan aura positif kepada apa pun dan siapa pun di sekelilingnya. Pancaran optimisme dan semangat itulah yang bisa menginspirasi orang lain, bahkan menularkan semangat yang sama sehingga orang lain jadi ikut tergerak.

Disiplin Diri
Ada sebuah ungkapan yang sangat dalam maknanya dari Andrie Wongso, Motivator No.1 Indonesia, yang bunyinya; “Jika kita lunak di dalam, maka dunia luar akan keras kepada kita. Tapi jika kita keras di dalam, maka dunia luar akan lunak kepada kita”. Kata-kata mutiara yang luar biasa ini menegaskan, bahwa jika kita mau bersikap keras pada diri sendiri, dalam arti menempa rasa disiplin dalam berbagai hal, maka banyak hal akan bisa kita kerjakan dengan baik. Sikap keras pada diri sendiri atau disiplin itulah yang umumnya membawa kesuksesan bagi karir para olahragawan dan pekerja profesional yang memang menuntut sikap disiplin dalam banyak hal. Bayangkan, bagaimana seorang atlet bisa menjadi juara jika dia tidak disiplin berlatih? Bagaimana mungkin ada pekerja profesional yang bagus karirnya jika dia sering mangkir atau bolos kerja?

Sebaliknya, jika kita terlalu lunak atau memanjakan diri sendiri, memelihara kemalasan, mentolerir kinerja buruk, tidak merasa bersalah jika lalai atau gagal dalam tugas, maka dunia luar akan sangat tidak bersahabat. Olahragawan yang manja pasti tidak akan pernah jadi juara. Seorang sales yang malas tidak akan pernah besar penjualannya. Seorang konsultan yang menolerir kinerja buruk pasti ditinggalkan kliennya. Dan pekerja yang tidak disiplin pasti mudah jadi sasaran PHK. Jika kita lunak pada diri sendiri, maka dunia akan keras pada kita.

Rasa malas jelas merugikan. Obat mujarabnya adalah menumbuhkan kebiasaan mendisiplinkan diri dan menjaga kebiasaan positif tersebut. Sekalipun seseorang memiliki cita-cita atau impian yang besar, jika kemalasannya mudah muncul, maka cita-cita atau impian besar itu akan tetap tinggal di alam impian. Jadi, kalau Anda ingin sukses, jangan mempermudah munculnya rasa malas.

Alasan dan Tips Menghilangkan Rasa Takut Presentasi

Banyak orang yang merasa gugup, tegang, takut dan semua rasa hadir seakan ingin menyantap kita. Rasa yang seakan datang dengan tidak di undang ini sangat mengganggu konsentrasi pada saat presentasi.

Menurut pengalaman saya ada beberapa alasan mengapa ketika kita presentasi selalu gugup dan takut saat di depan audiens, yaitu :

1. Kita kurang memahami dan menguasai topik yang akan kita sampaikan kepada audiens.

2. Kurangnya rasa akan percaya pada diri kita bahwa kita bisa.

3. Kurangnya mengenal diri kita sendiri.

4. Kurangnya intropeksi diri kita sendiri.

5. Munculnya pikiran yang macam - macam.


Hal di atas itu adalah yang menyebabkan rasa - rasa itu timbul dan mengganggu anda. Dan menurut pengalaman yang saya dapat rasa - rasa itu akan hilang ketika.

1. Kita memahami dan menguasai topik yang akan kita tampilkan (mempunyai wawasan yang luas).

2. Yakinkan pada diri kita bahwa kita bisa (percaya diri).

3. Kenallah diri kita sendiri agar mengetahui kemampuan yang kita punya.

4. Sering lah intropeksi diri kita agar kita tidak menggulanggi lagi kesalahaan yang pernah kita lakukan.

5. Tenangkan pikiran kita ketika hendak presentasi (Fokus).

Semoga setelah kita menghilangkan rasa - rasa yang menggangu ini dapat membuat presetasi kita menjadi sukses.

Tetapi semua itu tidak lepas dari kuasa NYA. Jadi jangan lupa untuk berdoa sebelum presentasi.

CERDAS DARI MEDIA DAN CERDAS BERMEDIA

Saat ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak terelakkan memiliki akses terhadap media. Mereka membaca buku atau koran, mendengarkan radio, menonton televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa menjadi cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media literacy).

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan dari media massa. Media seperti perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya, seorang anak yang belum masuk sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang istimewa ini sering menonton film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi.

Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata dapat menjerumuskan manusia ke kubangan yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi, agresivitas, bullying, politicking, dan konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan yang “cantik” di media, tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak kagum berserakan, tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok.

Di sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga menghilangkan peluang untuk kita mengasah kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni suatu potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam suatu latar kultural untuk memecahkan masalah atau menciptakan produk-produk yang merupakan nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa kecerdasan dapat diasah melalui media. Sehingga menafikan media merupakan tindakan yang tidak bijaksana.
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan kita?

Kecerdasan bermedia
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput dari bidikan media. Karena, orang-orang kepada siapa ia berinteraksi juga mengonsumsi media. Dengan demikian, kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui media.

Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi membekali diri menghadapi kenyataan hidup sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita melakukan kontak langsung dengan orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga kita tidak dapat mengambil semua pengalaman dan informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan informasi tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang, dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi, seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media.

Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy secara langsung. Sebab, khalayak yang cerdas menagih kualitas manajemen media dan pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media merogoh kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi menipis. Tetapi kondisi ini bukan satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia. Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan pergaulan antarbangsa diperlukan rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta media.